Monday, December 26, 2016

Mudik Lebaran Terparah




Saya agak lupa persisnya tahun berapa tapi saya masih ingat jelas kejadiannya. Waktu itu saya mudik lebaran sendirian ke Blitar dengan menaiki kereta api, sesuatu yang sudah sangat biasa saya lakukan karena moda transportasi kereta api merupakan moda transport yang paling saya kenal (pesawat mahal).

Itinerary dari Jogja ke Blitar adalah sebagai berikut ; menggunakan kereta api Sri Tanjung (apa masih argo puro ya namanya waktu itu?) dari stasiun lempuyangan dan turun di stasiun kertosono, selanjutnya disambung dengan menggunakan kereta api dhoho dari Surabaya ke Blitar via Kertosono. Prakiraan ETA di Stasiun Kertosono adalah pukul 12:30 dan KA Dhoho akan tiba pukul 13:10, sangat pas untuk sebuah perjalanan.

KA Sri Tanjung berangkat dari Stasiun Lempuyangan tepat pada pukul 7:30 pagi, suasana kereta masih agak lowong alias masih ada beberapa bangku yang belum terisi. Mengingat ini adalah kereta ekonomi dan merupakan kereta jarak jauh dengan tujuan akhir stasiun Banyuwangi maka penuhnya kereta sepertinya hanya tinggal menunggu waktu saja, mengikuti derap langkah roda besi yang berputar melewati stasiun demi stasiun. Dugaan saya kereta akan mulai dipenuhi penumpang mulai stasiun Klaten, dan akan penuh sesak selepas daerah Ngawi - Saradan.

Dan benar dugaan saya, ketika tiba di stasiun Klaten, penumpang mulai merangsak masuk kedalam kereta dengan membawa barang-barang pribadinya ; bungkusan kardus, tas-tas besar, tas kresek, hingga ayam jago hidup 😂😅

Penderitaan dimulai.... 


Suasana di dalam kereta yang tadinya lengang dan bisa santai-santai menjadi padat, panas, berisik, dengan bau minyak angin/minyak kampak (jimat bagi yang mabuk diperjalanan). Hal ini tambah diperparah dengan pedagang eceran, pengemis, pengamen, hingga waria yang menyanyikan mars nasionalnya yakni "wer ewer-ewer ceprot". Saya yang semula dapat tempat duduk, akhirnya harus merelakan tempat duduk saya untuk ditempati oleh penumpang lain.

Sepertinya semua tempat di dalam kereta api sudah ditempati, tidak ada space yang kosong meskipun itu di area bordes, di dalam toilet, ato naik di lokomotif. Sudah hampir mirip dengan kondisi kereta api di India yang lokomotifnya tidak kelihatan sama sekali karena saking banyaknya penumpang. Semua full, sangat susah untuk bergerak, saking susahnya untuk bergerak hingga kondektur pun juga tidak mau melakukan pengecekan tiket. Toh kalaupun melakukan pengecekan, hanya akan dilakukan sekali itupun demi formalitas tugas. Kaki saya sampai kram, badan sakit, dan keringat bercucuran. 

Begitu kereta tiba di wilayah Ngawi, kondisi menjadi semakin ciamik saja. Ada orang yang naik kereta dengan membawa kambing peliharaannya..! KAMBIINGGGG... MBEEEEKKKK.... 😆😆😅

Sempurna...., dalam hati saya membatin. Saya kuat-kuatkan saja menerima kondisi yang ada, dengan rasa pesimis yang mulai mengembang karena kereta selanjutnya yang rencananya akan saya tumpangi sepertinya tidak akan terkejar.

Pukul 13:45 Kereta Api Sri Tanjung tiba di Stasiun Kertosono.

Pacar ketinggalan kereta, eh, Saya ketinggalan kereta........................... 😱

Akhirnya saya terpaksa mencari informasi dari petugas di stasiun, dan dari informasi yang saya dapat masih ada kereta api Dhoho terakhir tujuan Blitar yang akan tiba di Stasiun Kertosono pukul 16:00. Alhamdulillah, masih ada kereta ke Blitar. Sembari menunggu saya keluar jalan-jalan di sekitar stasiun dan makan siang di warung tepi jalan. 

Menjelang Ashar, saya kembali ke Stasiun dan membeli tiket KA Dhoho utk ke Blitar, tiketnya masih murah waktu itu hanya sekitar 2800 rupiah atau 3600 rupiah kalau tidak salah. KA Sri Tanjung yang saya naiki sebelumnya tiketnya hanya 12.000 rupiah utk tujuan Surabaya. Setelah membeli tiket saya pun segera masuk ke stasiun untuk menunggu kereta datang.

Ketika baru saja saya duduk di kursi ruang tunggu penumpang, mendadak ada pengumuman dari PPKA bahwa KA Dhoho yang saya tumpangi mengalami gangguan cuaca buruk di Mojokerto dan mengalami anjlog. Estimasi perkiraan yang diberikan hingga kereta bisa kembali jalan adalah 2 jam. KLOP..!!! 

Kalo kata orang Blitar, " Sek nunggu ngampek Mrruuuuooongooosssss......"

Sesaat setelah Adzan Maghrib, kabar baik datang, Kereta Api Rapih Dhoho yang saya tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kabar buruknya, karena terlambatnya banyak, maka kereta akan sekalian dijadikan kereta penyapu untuk mengangkut penumpang yang akan menuju ke wilayah Tulung agung, Kediri, Blitar, yang artinya kereta ini akan berhenti disetiap stasiun yang akan dilewati demi mengangkut penumpang-penumpang mudik yang keretanya terlambat datang.

Pukul 19:30 malam, setelah dilewati oleh ribuan kereta api baik yang lalu lalang ketimur dan kebarat, kereta akhirnya diberangkatkan juga. Nampak muka-muka ceria nan sumringah penjual pecel dan krupuk rambak stasiun Kertosono karena dagangannya laku. Sugeng Riyadi nggeh mas, mbak 😁

Kereta api Dhoho yang saya naiki ini kondisinya bisa dibilang parah, beberapa gerbong mati lampunya sehingga penumpang banyak yang memilih untuk pindah ke gerbong lain yang menyala lampunya. Kereta ini relatif sepi dari pedagang, hanya satu dua saja pedagang asongan yang rata-rata menjual telur puyuh dan bekicot goreng. Sisanya pengamen lokal yang berdomisili di sekitar tulung agung dan kediri.

Sekitar wilayah Kediri, kereta berhenti di stasiun kecil, dan apa yang terjadi kemudian cukup membuat saya geleng-geleng kepala. Ada seorang penumpang, sepertinya nelayan, yang menaikkan drum-drum besar warna biru kedalam kereta. Dari baunya jelas itu bau amis ikan, dan saya hitung orang itu menaikkan 36 drum ke dalam kereta. Cukup lama kereta berhenti di stasiun itu hanya untuk menunggu orang itu menaikkan bawaannya ke dalam kereta. Karena tidak tahan bau amisnya, saya kemudian berpindah 2 gerbong kedepan. Tidak jelas turun dimana orang tadi beserta drum-drum bawaannya.

KA Dhoho yang semula merupakan kereta api keong karena jalannya pelan dan banyak berhenti, mendadak berubah menjadi kereta peluru yang bergerak secepat kilat (koyo opo wae). Setiap stasiun yang dilewati pasti berhenti walau hanya untuk 3 detik (saya menghitung brp lama berhentinya). Bagi penumpang di dalam kereta rasanya seperti berada di dalam mixer juice. Saya kira masinis juga tidak terlalu ambil pusing, karena sudah malam, kereta terakhir, dan dijalur yang jarang dilewati kereta karena bukan jalur utama seperti Kertosono - Surabaya.

Selepas stasiun Tulung Agung, lokomotif BB 301 yang dijadikan andalan untuk menarik rangkaian kereta api rapih dhoho mendadak mati mesin persis ditengah sawah, disamping rumah Pak Slamet (aku ngarang wae jeneng Pak Slamet iki). Sempat ketar-ketir dan kebingungan juga karena tidak ada kereta yang lewat di jalur itu pada jam-jam itu sehingga bingung mau minta tolong, kalau misal ada mungkin bisa digandeng dan ditarik. Kereta selanjutnya yang akan lewat jalur itu tak lain dan tak bukan adalah para pemilik jalur sepi itu dan juga kereta dedengkot di ranah dunia kereta api di Indonesia, yaitu KA Matarmaja dan KA Gajayana. Dua kereta api cepat dengan jarak tempuh terjauh di Indonesia, Malang - Jakarta.

Masinis dan kondektur akhirnya mengontak stasiun terdekat dan mendapat jawaban akan dikirimkan bala bantuan berupa lokomotif dari stasiun Malang. Adohe rekkk.... nunggu maneh cok...

Waktu menunjukkan pukul 22:00, sambl menunggu masinis, asisten masinis, kondektur, beberapa penumpang (termasuk saya) memilih untuk duduk di rel, persis di depan lokomotif karena terang benderang. Masinis menyalakan lampu lokomotif dengan tujuan untuk memberi tanda bagi lokomotif yang akan datang dari arah Malang, agar tidak menabrak rangkaian KA Dhoho. 

Sang masinis duduk di rel sambil menghisap rokoknya, raut muka lelah nampak jelas diwajahnya, rasa dongkol di hati terbaca jelas melalui kata-kata dan kalimat yang di ucapkannya.

"Insyinyur'e piye, wes bener mesin apik-apik malah diganti mesin uduk-uduk."

Masinis itu nampaknya jengkel dengan kondisi lokomotif yang mati dan kondisi gerbong yang gelap gulita.

"Jaman ndhisik gak onok sek wani aneh-aneh, salah sithik mesti gak wani. M*ncret-m*ncret wes "
"Mosok Malang muk nduwe CC sitok thok, liyane BB kabeh"

Saya hanya terdiam, memahami kondisi dan situasi perkereta apian pada masa itu. Jumlah lokomotif yang sedikit dan pembagian lokomotif yang dirasa tidak fair membuat masinis tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap manajemen.

Kira-kira tengah malam, nampak sinar warna kuning dari kejauhan. Bala bantuan sudah datang dari Malang. Masinis, Kondektur, dan petugas mekanik segera memberikan aba-aba untuk mendekat dan menyambung lokomotif CC dengan BB. Tidak lama kemudian rangkaian kereta Dhoho kembali berjalan menuju stasiun terakhir Blitar.

Sekitar pukul 00:30 kereta akhirnya sampai di stasiun akhir tujuan yaitu Blitar, saya pun bergegas menuju ke rumah nenek, jalan kaki melewati alun-alun kota. 

Tepat pukul 01:00 saya tiba dirumah, Nenek sudah ketiduran di kursi ruang tamu menunggu cucunya yang tidak kunjung tiba. 

Mendadak Nenek terbangun dan tersenyum sembari menghujani saya dengan pertanyaan beruntun 😀

"Numpak opo iki mau? Sepur? koq nembe tekan yah mene? Jam piro mau seko yojo?"

"Sepure mogok mbah nang tulung agung, seko yojo jam 7 esuk, bek pokoke sepure. Sak uwen-uwen sek nunggu". Ucap saya kepada Nenek tercinta.

Sek penting wes tekan. 18 jam perjalanan. Ngono wae.



No comments:

Post a Comment